Terjadi situasi paradoks dalam dinamika mata uang Inggris. Pound, yang tertatih di ambang kegagalan dan secara berkala menguji level terendah, dianggap undervalued oleh banyak pakar. Faktor ini membantu pound "bertahan" dari penurunan harga terdalam.
Minggu ini, mata uang Inggris aktif turun terhadap USD, mencoba mengembangkan rally bearish. Akibatnya, pound diperdagangkan mendekati posisi terendah dua tahun, melangkahi level support 1.1700 dari waktu ke waktu. GBP/USD berhasil bergerak menuju konsolidasi akhir pekan ini, mematahkan penurunan beruntun empat hari dan naik di atas 1.1800. Namun, dalam jangka pendek, bear pound akan kalah karena kurangnya selera terhadap risiko. Pada saat yang sama, banyak investor lebih memilih menjual GBP, karena khawatir akan menguatnya masalah energi di dalam negeri.
Setelah rilis laporan inflasi di Inggris, posisi short pada mata uang Inggris meningkat. Menurut laporan bulan Juli, indeks harga konsumen di negara tersebut mencapai 10,1%, menjadi yang tertinggi sejak 1982. Para analis Citi Bank memperkirakan inflasi di Inggris akan melonjak ke rekor 18,6% pada Januari 2023. Alasannya, kenaikan signifikan harga bahan bakar biru. Menurut para pakar, inflasi Inggris akan menjadi yang tertinggi sejak krisis minyak 1979, ketika levelnya mencapai 17,8%. Dalam skenario seperti itu, daya beli penduduk akan turun tajam. Ini akan memicu berlanjutnya penurunan ekonomi, yang merugikan keuangan rumah tangga di Inggris.
Namun, banyak pakar yakin prakiraan Citi Bank ekstrem, dan bahkan meningkatnya krisis energi di negara itu tidak mungkin mengarah pada tahap inflasi yang tajam. Skenario ini bertentangan dengan prakiraan konsensus dasar, yang mengasumsikan inflasi naik menjadi 11,9%, dan perkiraan Bank of England (yang mengasumsikan inflasi naik menjadi 13%). Opsi terakhir sangat mungkin jika perdana menteri Inggris yang baru memperkenalkan stimulus fiskal lain.
Situasi saat ini berdampak negatif pada dinamika pound, yang tetap berada dalam tekanan. Pasangan GBP/USD melaju di dekat 1.1835 pada Kamis pagi, 25 Agustus, mendapatkan momentum. Pound berusaha menutup penurunan sebelumnya dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Tekanan tambahan pada dinamika GBP meningkatkan kekhawatiran atas timbulnya resesi di Inggris pada kuartal ketiga tahun ini. Dalam skenario seperti itu, BoE harus merevisi kebijakan moneternya saat ini dan memperlambat kenaikan suku bunga utama. Para analis memperkirakan pound sekarang berkorelasi negatif dengan suku bunga, karena risiko resesi lebih penting daripada potensi pengetatan kebijakan moneter oleh BoE.
Di sisi bear mata uang Inggris - penguatan jangka panjang greenback, yang didorong oleh keyakinan pelaku pasar terhadap pengetatan lebih lanjut kebijakan moneter oleh Federal Reserve. Selain itu, investor yakin bank sentral akan menaikkan suku bunga dengan signifikan pada September (50-75 bps). Sikap hawkish The Fed atas masalah ini akan menyebabkan dolar ke level tertinggi baru. Namun, aset berisiko, termasuk mata uang Inggris, akan berada dalam tekanan. Dengan latar belakang ini, para pakar menyarankan untuk menahan posisi short pada pasangan GBP/USD dengan target di 1.1500.
Ahli strategi mata uang di bank investasi JPMorgan juga mengikuti tren penurunan terhadap pound. Para analid memperkirakan pound jatuh terhadap dolar ke level terendah dalam dua tahun. Penyebabnya adalah menguatnya resesi di Inggris dan memburuknya krisis energi akibat masalah pasokan gas. Dengan latar belakang ini, pound berisiko jatuh ke 1.1400, level yang tercatat pada Maret 2020.
Menurut para ekonom JPMorgan, pada tahun 2022 mata uang Inggris turun 12% terhadap AS, dan ini bukan batasnya. Situasi saat ini telah menjadikan pound sebagai salah satu mata uang G10 terburuk dalam hal return spot. Namun, JP Morgan tidak mengesampingkan kelanjutan pemulihan pound pada tahun 2023.
Menurut para pakar, selera risiko, penurunan peran USD dan penilaian yang adil terhadap pound menonjol di antara katalis untuk potensi pertumbuhan GBP. Banyak analis yakin undervaluation pound adalah faktor penting yang dapat mencegah berlanjutnya penurunan. Selama 15 tahun terakhir, deviasi pasangan GBP/USD dari nilai wajar tidak lebih dari 20%. Saat ini, pound berada di puncak undervaluation (sebesar 19,3%). Menurut para pakar, pound mungkin terus jatuh dan tetap diremehkan untuk waktu yang lama.
Menurut analis, pound mempertahankan potensi berlanjutnya penurunan, yang mungkin terjadi dalam perencanaan jangka pendek dan menengah. Pound mungkin didukung oleh peningkatan selera risiko dan mundurnya greenback dari posisi terdepannya. Namun, mengingat penguatan USD, ini tidak mungkin terjadi. Daya tarik pound bagi investor dimungkinkan di tengah penurunan suku bunga riil di AS, tetapi sekarang ini tidak dapat dicapai. Pada level saat ini, aset dalam mata uang GBP terlihat sangat murah bagi investor asing, para pakar menyimpulkan.