Pasar akan lebih dahulu bertindak lalu dilanjutkan dengan bertanya. Kabar mengenai Israel yang menyerang prasaran militer, alih-alih minyak atau nuklir di Iran, mengakibatkan anjloknya harga minyak hingga 6%. Brent dan WTI mengalami kinerja terburuk mereka sejak tahun 2022. Meskipun demikian, para investor memilih pandangan yang lebih tertaksir pada keesokan harinya, setelah para investor memahami bahwa Israel tidak pernah memiliki niatan untuk menargetkan lokasi penyimpanan minyak atau nuklir Iran, sehinggai apa alasan dari reaksi yang begitu kuat?
Selama periode yang lama, ketegangan geopolitik selalu bermain sebagai support terhadap penurunan signifikan pada harga minyak. Konflik antara Israel, Hamas, Hezbollah, dan Iran akhirnya membuat para trader waspada, sambil memperhitungkan premi untuk efek samping dari eskalasi di Timur Tengah. Karena sepertiga suplai minyak dunia dihasilkan oleh wilayah-wilayah tersebut, lonjakan ketegangan akan mampu menstimulasi Brent di atas $100 per barel.
Evidensinya sudah terbukti ternyata tidak seburuk yang diprediksi. Israel membatasi respons mereka terhadap serangan yang dilakukan ke situs militer di Iran. Teheran, yang biasanya agresif, mengambil sikap yang lebih terorganisasi sehingga membuat pasar berasumsi apabila konflik akhirnya terselesaikan. Pasar kini kembali ke fundamental yang saat ini menunjukkan pergeseran bertahap di pasar minyak ke arah level surplus, sehingga menekan harga minyak menurun. Tidak mengherankan, risiko pembalikan menunjukkan pergeseran Brent dari pandangan bullish ke bearish.
Dinamika Risiko Pembalikan Brent
Namun, dapatkah kita mengetahui konflik di Timur Tengah sudah benar-benar terselesaikan? Hanya enam bulan berlalu sejak ketegangan di bulan April antara Israel dan Iran sebelum memanas kembali. Selain itu, penyusutan pada harga minyak di tengah lemahnya angka permintaan yang serta adanya lonjakan angka produksi berpeluang memaksa OPEC+ untuk menimang-nimang kembali strategi penghapusan bertahap untuk mengurangi produksi mereka mulai bulan Desember. Citi tidak lama ini baru saja memangkas prediksi periode tiga bulannya terhadap Brent yang awalnya $74 menjadi $70 per barel, angka ini kemungkinan tidak akan membuat OPEC puas.
Minyak memang memiliki garis hidup, namun kemungkinan kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS memberikan pandangan yang sangat bearish. Stimulus fiskal besar dapat menstimulasi imbal hasil Treasury 10 tahun untuk berada kembali di atas 5%, meningkatkan risiko inflasi, dan memaksa Federal Reserve dan juga bank sentral lainnya untuk tidak mengubah posisi suku bunga semakin tinggi, dan akan berdampak negatif pada ekonomi global dan permintaan minyak.
IMF memprediksi angka pertumbuhan PDB global di angka 3,2% pada tahun 2025, namun tarif yang diusulkan oleh Trump berpotensi mengurangi angka yang ada sebesar 0,8 poin persentase. Pada tahun 2026, angka tersebut sudah mampu bisa mencapai pengurangan 1,3 poin persentase. IEA, OPEC, dan U.S. Energy Information Administration sudah memprediksi permintaan minyak yang melambat. Prediksi mereka sepertinya memerlukan revisi lebih rendah, akibat adanya surplus di pasar minyak yang berpotensi datang lebih cepat dari yang direncanakan, memicu momentum bearish lebih lanjut.
Secara teknis, Brent menunjukkan konsolidasi pada grafik harian dalam rentang $74,15-76,75 per barel. Penembusan di bawah kisaran ini dianggap membenarkan untuk memulai atau menambah short position.